Cari Blog Ini

Kamis, 31 Oktober 2019



SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH 
PADA MASA ORDE BARU



A.      Pengertian Madrasah
Kata madrasah berasal dari akar kata bahasa arab, yaitu “darasa” yang berarti belajar. Madrasah sendiri merupakan isim makan yang berarti tempat untuk belajar. Kata “darasa” yang berarti “membaca dan belajar” berasal dari bahasa Hebrew atau Aramy.[1]
Madrasah juga berarti aliran atau mazhab. Kelompok atau golongan filosof, ahli piker atau penyelidik tertentu yang berpegang pada metode atau pemikiran yang sama, disebut juga madrasah.[2]
Menurut peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 1950, madrasah mengandung dua pengertian. Pertama, tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajaran. Kedua, pondok pesantren yang member pendidikan setingkat dengan madrasah.[3]
Dalam Surat Keputusan bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 1975, Bab I, Pasal I, disebutkan  bahwa yang dimaksud madrasah dalam keputusan bersama ini adalah lembaga pendidikan yang menjdikan mata pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran umum.[4]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa madrasah adalah suatu lembaga, tempat pembelajaran yang bercirikhas Islam, yang materi dasar pendidikan Islam menjadi ciri khas,  yang membedakan antara madrasah dengan sekolah pada umumnya yang dikembangkan oleh kolonial Belanda.
Madrasah bukan lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia Islam Timur Tengah yang berkembang sekitar abad 10 atau 11M. Istilah madrasah diadopsi oleh umat Islam Indonesia, dan penggunaan istilah madrasah di Indonesia adalah untuk membedakan antara lembaga pendidikan Islam modern dengan lembaga pendidikan Islam tradisional dan system pendidikan Belanda yang sekuler.[5]

B.       Perkembangan Madrasah Awal Masa Orde Baru
Pada masa awal-awal pemerintahan orde baru, kebijakan beberapa hal yang berkaitan dengan madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari system pendidikan secara nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama.
Hal ini disebabkan karena system pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan menggunakan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.
Hal tersebut termuat dalam Tap MPRS No. 2 Tahun 1960, yang menegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Selain itu, dalam Tap MPRS No 2 Tahun 1966, dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsure mutlak dalam mencapai tujuan nasional.[6]
Menghadapi kenyataan ini, maka langkah pertama dalam pembaharuan pendidikan madrasah adalah melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah. Formalisasi ditempuh dengan menegrikan sejumlah madrasah dengan criteria tertentu yang diatur oleh pemerintah, disamping itu juga mendirikan madrasah-madrasah negeri yang baru. Strukturisasi dilakukan dengan mengatur perjenjangan dan perubahan kurikulum yang cendrung sama dengan perjenjangan dan kurikulum yang sama dengan sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Proses penegrian terus berjalan hingga dikeluarkannya  Keputusan Menteri Agama No. 213 Tahun 1970 yang mengatur penghentian penegerian madrasah sewasta dan pendirian madrasah negeri dalam lingkungan Depag.[7] Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan standar madrasah yang berkualitas.
Pada tahun 1972, pemerintahan mengeluarkan kebijakan berupa keputusan presiden No. 34 Tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini menyangkut 3 hal, dan salah satu diantaranya adalah : Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan  pendidikan umum dan kejuruan. Dua tahun kemudian keluar inpres No. 15 Tahun 1974 yang berisi tentang penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implicit ketentuan ini mengharuskan  diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.[8]
Lahirnya peraturan-peraturan tersebut mengambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Dalam konteks ini, madrasah tidak hanya diasingkan dari system pendidikan nasional, tetapii juga terdapat indikasi kuat akan dihapuskan.
Reaksi umat Islam terhadap kebijakan yang tidak menguntungkan itu diperlihatkan antara lain oleh Musyawarah Kerja Majlis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Lembaga ini meyakinkan bahwa madrasah adalah lembaga ppendidikann yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Selanjutnya MP3A menegaskan bahwa yang paling tepat diserahi tanggung jawab itu ialahh Departemen Agama, sebab Menteri Agama yang lebih tahu tentang selik beluk pendidikan agama, bukan menteri P & K atau menteri-menteri lain.
Pemerintahan orde baru menyadari bahwa umat islam berkeberatan jika pengelolaan pendidikan madrasah diserahkan sepenuhnya di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada tahap akhir tahun 70-an sampai dengan tahun 80-an, pemerintahan orde baru mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam system pendidikan nasional.
Pemerintahan pada tahap ini memperkuat struktur madrasah baik dalam jenjang maupun kurikulumnya, sehingga lulusannya memperoleh pengakuan yang sama dengan lulusan sekolah, dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang dikelola Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  

C.      SKB Tiga Menteri Memperkuat Eksistensi Madrasah
Pada sidang cabinet terbatas tanggal 26 November 1974, Manteri Agama Mukti Ali menyampaikan kecemasan umat Islam berkaitan dengan isi dan implikasi lebih jauh dari kepres dan inpres tersebut, sehingga Presiden mengeluarkan petunjuk pelaksanaan Kepres No.34 Tahun 1974 dan Inpres No.15 Tahun 1974 yang isinya diantaranya :
1.      Pembinaan pendidikan umum adalah tanggungjawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan tanggung jawab Pendidikan Agama menjadi tanggungjawab Menteri Agama.
2.      Untuk Pelaksanaan Kepres No. 34 Tahun 1972 Dan Inpres No. 15 Tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu kerja sama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama.[9]
Dengan keluarnya petunjuk pelaksanaan tersebut, ketegangan antara pendidikan agama dengan pendidikan nasional dapat diatasi.
Sebagai tindak lanjut juknis tersebut, maka diikuti dengan penyusunan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
Dalam konteks di atas, sejumlah dictum yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi dengan merinci bagian-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam bab 1 pasal 1 ayat 2 menyatakan : madrasah itu meliputi :
1)      Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan sekolah dasar.
2)      Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan sekolah menengah pertama.
3)      Madrasah Aliyah setingkat dengan sekolah menengah atas.
Selanjutnya dalam bab II pasal 2 disebutkan bahwa :
1.      Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
2.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
3.      Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Mengenai pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam bab IV pasal 4 sebagai berikut :
1.      Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama
2.      Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama
3.      Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.[10]
SKB tiga menteri ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah kedalam system pendidikan nasional yang tuntas.

D.      Penyusunan Kurikulum
Setelah keluar SKB tiga Menteri tersebut, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976, yang termuat dalam keputusan Menteri Agama No. 75 tanggal 29 Desember 1976. Kurikulum tersebut kemudian disempurnakan melalui kurikulum 1984.  Kurikulum 1984 ini merupakan peraturan SKB 2 Menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama Nomor 0299/U/1984 (Dikbud) dan Nomor 45/1984 (agama).[11]
Dengan demikian, maka kurikulum 1984 tersebut dijiwai oleh SKB 3 menteri Tahun 1975 dan SKB 2 Menteri Tahun 1984
Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Susunan kurikulum madrasah tahun 1984 terdiri dari program inti dan program pilihan. Program inti terdiri dari kelompok pendidikan agama dan kelompok pendidikan dasar umum.
Pada tingkat ibtidaiyah, komposisi kurikulum 1984 terdiri dari 15 mata pelajaran. Bidang studi Agama hanya mencakup sekitar 30% dengan lima mata pelajaran. Sedangkan 70% adalah mata pelajaran umum.
Pada tingkat tsanawiyah, komposisi kurikulum dibagi dalam  tiga jenis pendidikan, yakni pendidikan dasar umum; pendidikan dasar akademik, pendidikan keterampilan.
Pada tingkat aliyah, komposisi kurikulum antara satu jurusan dengan jurusan yang lain sesuai dengan kurikulum nasional 1984. Pendidikan pada tingkat aliyah terdiri dari lima pilihan jurusan :
1.      1A (ilmu-ilmu agama)
2.      A2 (ilmu-ilmu fisika)
3.      A3 (ilmu-ilmu biologi)
4.      A4 (ilmu-ilmu social)
5.      A5 (pengetahuan budaya).[12]
Komponen kurikulum 1984 tingkat aliyah pada umumnya terbagi ke dalam dua program, yakni program inti dan program pilihan. Program inti adalah pendidikan agama yang mencakup lima mata pelajaran dan pendidikan dasar umum yang terdiri dari 19 mata pelajaran. Sedangkan dalam program pilihan hanya memuat pendidikan pengembangan yang kandungan atau mata pelajarannya berbeda antara satu jurusan dengan jurusan yang lain.
Memasuki decade 90-an, kebijakan pemerintahan orde baru mengenai madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun satu system pendidikan nasionalyang utuh. Dengan satu system yang utuh dimaksudkan bahwa pendidikan nasional tidak hanya bergantung pada pendidikan jalur sekolah tetai juga memanfaatkan jalur luar sekolah.
Untuk tujuan ini, pemerintahan orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional, sekaligus menggantikan UU No.4 Tahun 1950 jo. No. 12 Tahun 1954. Selain itu, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 dan 29 Tahun 1990, madrasah berkembang dengan predikat baru yaitu Sekolah Umum berciri khas agama Islam, yang terdiri dari : MI=SD, MTs=SMP dan MA=SMA berciri khas agama Islam.[13]
 Dalam konteks ini, penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang secara terpadu dalam system pendidikan nasional.
Kurikulum madrasah diperbaharui dengan kurikulum 1994 dengan perbandingan alokasi waktu antara 16-18% untuk mata pelajaran agama dan antara 82-86% mata pelajaran umum, dengan catatan bahwa alokasi waktu mata pelajaran umum muatan nasional diberlakukan 100% sama dengan sekolah umum setingkat.
Untuk merealisasikan tuntutan UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Menteri Agama RI telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan mengenai kurikulum madrasah tersebut. Salah satunya adalah kurikulum madrasah yang berlaku secara nasional, yang didasarkan atas Surat Keputusan Nomor 371 Tahun 1993 tentang kurikulum madrasah ibtidaiyah, Nomor 372 Tahun 1993 tentsng kurikulum madrasah tsanawiyah, dan Nomor 173 Tahun 1993 tentang kurikulum madrasah aliyah.
Perbedaan kurikulum 1984 dengan kurikulum 1994 adalah sebagai berikut :
No
Kurikulum
1984
1994
1
Pelaksanaan pengajaran adalah semester
Pelaksanaan pengajaran caturwulan
2
Istilah bidang studi
Diganti menjadi mata pelajaran
3
Porsi pendidiksn agama 30%
Porsi pendidikan agama hanya 10%

E.       Madrasah Masa Sekarang
Era globalisasi dewasa ini dan dimasa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam, termasuk Madrasah khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindari diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive dan berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad 21.
Globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim Indonesia sekarang ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini tidak bersumber dari Timur Tengah, melainkan dari barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Dominasi dan hegemoni politik barat dalam segi-segi tertentu mungkin saja telah “merosot”, khususnya sejak terakhirnya perang


dunia kedua, dan “perang dingin”. Belum lama ini, tetapi hegemoniekonomi dan sains-teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul beberapa kekuatan ekonomi baru, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi “kultur”  hegemoni ekonomi dan sains teknologinya tetap sarat dengan nilai-nilai Barat.

Oleh karena itu, agar madrasah biasa bertahan dan bisa berkembang dimasa yang akan datang, madrasah harus terus dikembangkan dan disempurnahkan kurikulumnya sehingga bisa menjawab tantangan kehidupan di masa yang akan datang.




[1] . Tim LPP-SDM, Ensiklopedi Pendidikan Islam, Depok : Bina Muda Cipta Kreasi, 2010, h. 69
[2] . ibid
[3] . ibid
[4] . ibid, hal. 70
[5] . Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 192-193
[6] . Dr. H. Maksum, “Madrasah” Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana ilmu, 1999, h. 146
[7] . Tim LPP-SDM, Ensiklopedi Pendidikan Islam, Depok : Bina Muda Cipta Kreasi, 2010, h. 80
[8] . op. cit., h. 147
[9] . Dr. H. Maksum, “Madrasah” Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana ilmu, 1999, h. 149
[10] . ibid, h. 150-151
[11] . Tim LPP-SDM, Ensiklopedi Pendidikan Islam, Depok : Bina Muda Cipta Kreasi, 2010, h. 83
[12] . Dr. H. Maksum, “Madrasah” Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana ilmu, 1999, h. 154
[13] . op.cot., h. 84