SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH
PADA MASA ORDE BARU
A. Pengertian
Madrasah
Kata madrasah berasal dari akar kata
bahasa arab, yaitu “darasa” yang berarti belajar. Madrasah sendiri merupakan
isim makan yang berarti tempat untuk belajar. Kata “darasa” yang berarti
“membaca dan belajar” berasal dari bahasa Hebrew atau Aramy.[1]
Madrasah juga berarti aliran atau
mazhab. Kelompok atau golongan filosof, ahli piker atau penyelidik tertentu
yang berpegang pada metode atau pemikiran yang sama, disebut juga madrasah.[2]
Menurut peraturan Menteri Agama
Nomor 1 Tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 1950, madrasah
mengandung dua pengertian. Pertama, tempat pendidikan yang diatur sebagai
sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok
pengajaran. Kedua, pondok pesantren yang member pendidikan setingkat dengan
madrasah.[3]
Dalam Surat Keputusan bersama (SKB)
Tiga Menteri Tahun 1975, Bab I, Pasal I, disebutkan bahwa yang dimaksud madrasah dalam keputusan
bersama ini adalah lembaga pendidikan yang menjdikan mata pelajaran agama Islam
sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran
umum.[4]
Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa madrasah adalah suatu lembaga, tempat pembelajaran yang
bercirikhas Islam, yang materi dasar pendidikan Islam menjadi ciri khas, yang membedakan antara madrasah dengan
sekolah pada umumnya yang dikembangkan oleh kolonial Belanda.
Madrasah bukan lembaga pendidikan
Islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia Islam Timur Tengah yang
berkembang sekitar abad 10 atau 11M. Istilah madrasah diadopsi oleh umat Islam
Indonesia, dan penggunaan istilah madrasah di Indonesia adalah untuk membedakan
antara lembaga pendidikan Islam modern dengan lembaga pendidikan Islam
tradisional dan system pendidikan Belanda yang sekuler.[5]
B. Perkembangan
Madrasah Awal Masa Orde Baru
Pada masa awal-awal pemerintahan
orde baru, kebijakan beberapa hal yang berkaitan dengan madrasah bersifat
melanjutkan dan memperkuat kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum
dipandang sebagai bagian dari system pendidikan secara nasional, tetapi
merupakan lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama.
Hal ini disebabkan karena system
pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan
kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan
menggunakan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.
Hal tersebut termuat dalam Tap MPRS
No. 2 Tahun 1960, yang menegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan
otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Selain itu, dalam Tap MPRS No 2 Tahun
1966, dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsure mutlak dalam mencapai
tujuan nasional.[6]
Menghadapi kenyataan ini, maka
langkah pertama dalam pembaharuan pendidikan madrasah adalah melakukan
formalisasi dan strukturisasi madrasah. Formalisasi ditempuh dengan menegrikan
sejumlah madrasah dengan criteria tertentu yang diatur oleh pemerintah,
disamping itu juga mendirikan madrasah-madrasah negeri yang baru. Strukturisasi
dilakukan dengan mengatur perjenjangan dan perubahan kurikulum yang cendrung
sama dengan perjenjangan dan kurikulum yang sama dengan sekolah-sekolah di
bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Proses penegrian terus berjalan
hingga dikeluarkannya Keputusan Menteri
Agama No. 213 Tahun 1970 yang mengatur penghentian penegerian madrasah sewasta
dan pendirian madrasah negeri dalam lingkungan Depag.[7]
Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan standar madrasah yang berkualitas.
Pada tahun 1972, pemerintahan
mengeluarkan kebijakan berupa keputusan presiden No. 34 Tahun 1972 tentang
tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini menyangkut
3 hal, dan salah satu diantaranya adalah : Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kejuruan. Dua tahun kemudian keluar inpres No. 15
Tahun 1974 yang berisi tentang penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan
berada di bawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara
implicit ketentuan ini mengharuskan
diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan
kurikulum nasional kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.[8]
Lahirnya peraturan-peraturan
tersebut mengambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah
dengan pendidikan nasional. Dalam konteks ini, madrasah tidak hanya diasingkan
dari system pendidikan nasional, tetapii juga terdapat indikasi kuat akan
dihapuskan.
Reaksi umat Islam terhadap kebijakan
yang tidak menguntungkan itu diperlihatkan antara lain oleh Musyawarah Kerja
Majlis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Lembaga ini
meyakinkan bahwa madrasah adalah lembaga ppendidikann yang memberikan sumbangan
yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Selanjutnya MP3A menegaskan bahwa
yang paling tepat diserahi tanggung jawab itu ialahh Departemen Agama, sebab
Menteri Agama yang lebih tahu tentang selik beluk pendidikan agama, bukan
menteri P & K atau menteri-menteri lain.
Pemerintahan orde baru menyadari
bahwa umat islam berkeberatan jika pengelolaan pendidikan madrasah diserahkan
sepenuhnya di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada tahap akhir tahun 70-an sampai
dengan tahun 80-an, pemerintahan orde baru mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan
madrasah ke dalam system pendidikan nasional.
Pemerintahan pada tahap ini
memperkuat struktur madrasah baik dalam jenjang maupun kurikulumnya, sehingga
lulusannya memperoleh pengakuan yang sama dengan lulusan sekolah, dan dapat
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang dikelola Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
C. SKB Tiga
Menteri Memperkuat Eksistensi Madrasah
Pada sidang cabinet terbatas tanggal
26 November 1974, Manteri Agama Mukti Ali menyampaikan kecemasan umat Islam
berkaitan dengan isi dan implikasi lebih jauh dari kepres dan inpres tersebut,
sehingga Presiden mengeluarkan petunjuk pelaksanaan Kepres No.34 Tahun 1974 dan
Inpres No.15 Tahun 1974 yang isinya diantaranya :
1. Pembinaan pendidikan umum adalah
tanggungjawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan tanggung jawab
Pendidikan Agama menjadi tanggungjawab Menteri Agama.
2. Untuk Pelaksanaan Kepres No. 34
Tahun 1972 Dan Inpres No. 15 Tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu kerja sama
antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Agama.[9]
Dengan keluarnya petunjuk
pelaksanaan tersebut, ketegangan antara pendidikan agama dengan pendidikan
nasional dapat diatasi.
Sebagai tindak lanjut juknis
tersebut, maka diikuti dengan penyusunan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga
dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975
tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar
pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang
sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat
lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan
agama.
Dalam konteks di atas, sejumlah
dictum yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi dengan merinci
bagian-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam bab 1
pasal 1 ayat 2 menyatakan : madrasah itu meliputi :
1) Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan
sekolah dasar.
2) Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan
sekolah menengah pertama.
3) Madrasah Aliyah setingkat dengan
sekolah menengah atas.
Selanjutnya dalam bab II pasal 2
disebutkan bahwa :
1. Ijazah madrasah dapat mempunyai
nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan
ke sekolah umum setingkat lebih atas.
3. Siswa madrasah dapat berpindah ke
sekolah umum yang setingkat.
Mengenai pengelolaan dan pembinaan
dinyatakan dalam bab IV pasal 4 sebagai berikut :
1. Pengelolaan madrasah dilakukan oleh
Menteri Agama
2. Pembinaan mata pelajaran agama pada
madrasah dilakukan oleh Menteri Agama
3. Pembinaan dan pengawasan mutu mata
pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
bersama-sama dengan Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.[10]
SKB tiga menteri ini dapat dipandang
sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus
merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah kedalam system pendidikan
nasional yang tuntas.
D. Penyusunan
Kurikulum
Setelah keluar SKB tiga Menteri
tersebut, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976, yang termuat dalam
keputusan Menteri Agama No. 75 tanggal 29 Desember 1976. Kurikulum tersebut
kemudian disempurnakan melalui kurikulum 1984. Kurikulum 1984 ini merupakan peraturan SKB 2
Menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama Nomor
0299/U/1984 (Dikbud) dan Nomor 45/1984 (agama).[11]
Dengan demikian, maka kurikulum 1984
tersebut dijiwai oleh SKB 3 menteri Tahun 1975 dan SKB 2 Menteri Tahun 1984
Penyempurnaan ini sejalan dengan
perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Susunan kurikulum madrasah tahun
1984 terdiri dari program inti dan program pilihan. Program inti terdiri dari
kelompok pendidikan agama dan kelompok pendidikan dasar umum.
Pada tingkat ibtidaiyah, komposisi
kurikulum 1984 terdiri dari 15 mata pelajaran. Bidang studi Agama hanya
mencakup sekitar 30% dengan lima mata pelajaran. Sedangkan 70% adalah mata
pelajaran umum.
Pada tingkat tsanawiyah, komposisi
kurikulum dibagi dalam tiga jenis
pendidikan, yakni pendidikan dasar umum; pendidikan dasar akademik, pendidikan
keterampilan.
Pada tingkat aliyah, komposisi
kurikulum antara satu jurusan dengan jurusan yang lain sesuai dengan kurikulum
nasional 1984. Pendidikan pada tingkat aliyah terdiri dari lima pilihan jurusan
:
1. 1A (ilmu-ilmu agama)
2. A2 (ilmu-ilmu fisika)
3. A3 (ilmu-ilmu biologi)
4. A4 (ilmu-ilmu social)
5. A5 (pengetahuan budaya).[12]
Komponen kurikulum 1984 tingkat
aliyah pada umumnya terbagi ke dalam dua program, yakni program inti dan
program pilihan. Program inti adalah pendidikan agama yang mencakup lima mata
pelajaran dan pendidikan dasar umum yang terdiri dari 19 mata pelajaran.
Sedangkan dalam program pilihan hanya memuat pendidikan pengembangan yang
kandungan atau mata pelajarannya berbeda antara satu jurusan dengan jurusan
yang lain.
Memasuki decade 90-an, kebijakan
pemerintahan orde baru mengenai madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun
satu system pendidikan nasionalyang utuh. Dengan satu system yang utuh
dimaksudkan bahwa pendidikan nasional tidak hanya bergantung pada pendidikan
jalur sekolah tetai juga memanfaatkan jalur luar sekolah.
Untuk tujuan ini, pemerintahan orde
baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang system pendidikan nasional, sekaligus menggantikan UU No.4 Tahun
1950 jo. No. 12 Tahun 1954. Selain itu, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
28 dan 29 Tahun 1990, madrasah berkembang dengan predikat baru yaitu Sekolah
Umum berciri khas agama Islam, yang terdiri dari : MI=SD, MTs=SMP dan MA=SMA
berciri khas agama Islam.[13]
Dalam konteks ini, penegasan definitif tentang
madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan
dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter
keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang
secara terpadu dalam system pendidikan nasional.
Kurikulum madrasah diperbaharui
dengan kurikulum 1994 dengan perbandingan alokasi waktu antara 16-18% untuk
mata pelajaran agama dan antara 82-86% mata pelajaran umum, dengan catatan
bahwa alokasi waktu mata pelajaran umum muatan nasional diberlakukan 100% sama
dengan sekolah umum setingkat.
Untuk merealisasikan tuntutan UU dan
Peraturan Pemerintah tersebut, Menteri Agama RI telah mengeluarkan
ketentuan-ketentuan mengenai kurikulum madrasah tersebut. Salah satunya adalah
kurikulum madrasah yang berlaku secara nasional, yang didasarkan atas Surat
Keputusan Nomor 371 Tahun 1993 tentang kurikulum madrasah ibtidaiyah, Nomor 372
Tahun 1993 tentsng kurikulum madrasah tsanawiyah, dan Nomor 173 Tahun 1993
tentang kurikulum madrasah aliyah.
Perbedaan kurikulum 1984 dengan
kurikulum 1994 adalah sebagai berikut :
No
|
Kurikulum
|
|
1984
|
1994
|
|
1
|
Pelaksanaan pengajaran adalah semester
|
Pelaksanaan pengajaran caturwulan
|
2
|
Istilah bidang studi
|
Diganti menjadi mata pelajaran
|
3
|
Porsi pendidiksn agama 30%
|
Porsi pendidikan agama hanya 10%
|
E. Madrasah Masa
Sekarang
Era globalisasi dewasa ini dan
dimasa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya
masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam, termasuk Madrasah
khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat
muslim tidak bisa menghindari diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi
jika ingin survive dan berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif
di masa kini dan abad 21.
Globalisasi yang berlangsung dan
melanda masyarakat muslim Indonesia sekarang ini menampilkan sumber dan watak
yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini tidak bersumber dari Timur Tengah, melainkan
dari barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan
masyarakat dunia umumnya. Dominasi dan hegemoni politik barat dalam segi-segi
tertentu mungkin saja telah “merosot”, khususnya sejak terakhirnya perang
dunia kedua, dan “perang dingin”. Belum lama ini, tetapi hegemoniekonomi dan sains-teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul beberapa
kekuatan ekonomi baru, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi “kultur” hegemoni ekonomi dan sains teknologinya tetap
sarat dengan nilai-nilai Barat.
Oleh karena itu, agar madrasah biasa
bertahan dan bisa berkembang dimasa yang akan datang, madrasah harus terus
dikembangkan dan disempurnahkan kurikulumnya sehingga bisa menjawab tantangan
kehidupan di masa yang akan datang.
[1]
. Tim LPP-SDM, Ensiklopedi Pendidikan Islam, Depok : Bina Muda Cipta Kreasi,
2010, h. 69
[2]
. ibid
[3]
. ibid
[4]
. ibid, hal. 70
[5]
. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2001,
h. 192-193
[6]
. Dr. H. Maksum, “Madrasah” Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana
ilmu, 1999, h. 146
[7]
. Tim LPP-SDM, Ensiklopedi Pendidikan Islam, Depok : Bina Muda Cipta Kreasi,
2010, h. 80
[8]
. op. cit., h. 147
[9]
. Dr. H. Maksum, “Madrasah” Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana
ilmu, 1999, h. 149
[10]
. ibid, h. 150-151
[11]
. Tim LPP-SDM, Ensiklopedi Pendidikan Islam, Depok : Bina Muda Cipta Kreasi,
2010, h. 83
[12]
. Dr. H. Maksum, “Madrasah” Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana
ilmu, 1999, h. 154
[13]
. op.cot., h. 84